- Back to Home »
- Information »
- Empat Jenis Mahasiswa, Anda Termasuk Yang Mana?
Posted by : Unknown
Jumat, 17 Agustus 2012
Pada
saat menjadi mahasiswa baik di program S1, S2 maupun S3 di Jepang, saya
mengalami berbagai proses pembelajaran yang kadang bikin geli kalau
mengingatnya sekarang. Proses belajar ternyata membuat jenis dan
karakter saya berubah-ubah. Kadang saya nggak sadar dengan
ketidakmampuan saya, tapi kemudian kenyataan menyadarkan saya bahwa saya
tidak mampu, dan akhirnya setelah saya belajar keras saya jadi sadar
apa saja kemampuan saya. Di sisi lain agak sedikit berbahaya ketika saya
tidak sadar dengan kemampuan saya. Jadi kayak bunglon dong? Hmm lebih
tepatnya bunglon darat . Terus saat ini anda termasuk jenis mahasiswa yang mana? Mari kita lihat bersama.
1. Mahasiswa Yang Tidak Sadar Akan Ketidakmampuannya (Unconsciously Incompetent)
Tahun 1994, kehidupan saya di Jepang di mulai. Saya
beserta 14 orang yang lain sekolah bahasa Jepang di Shinjuku, nama
sekolahnya Kokusai Gakuyukai. 1 tahun belajar bahasa Jepang, kita
berhasil menghapal sekitar 1000 kanji. Kemampuan bahasa Jepang level 1
menurut Japanese Language Proficiency Test alias Nihongo Noryoku Shiken. Kebetulan karena saya senang nggombalin orang
ngomong, percakapan bahasa Jepang saya cukup terasah (pera-pera). Di
Kokusai Gakuyukai, kita juga diajari pelajaran dasar untuk Matematika,
Fisika dan Kimia. Ini juga nggak masalah. Kurikulum Indonesia yang padat
merayap plus rumus-rumus cepat ala bimbel
, membuat soal-soal jadi relatif mudah dikerjakan. Karena saya newbie
di dunia komputer, padahal harus masuk jurusan ilmu komputer, saya beli
komputer murah untuk saya oprek. Newbie? yah bener, saya gaptek komputer
waktu itu. Saya kerja keras, saya bongkar PC, saya copoti card-cardnya
karena pingin tahu, sampe akhirnya rusak hehehe. Terus nyoba mulai
install Windows 3.1. Lebih dari 3 bulan, tiap malam saya keloni terus
itu komputer, jadi lumayan mahir lah. Tahun 1995, masuk ke Saitama
University dengan sangat PD dan semangat membara
. Nah pada tahap ini saya sebenarnya masuk ke jenis mahasiswa yang
tidak sadar akan ketidakmampuannya. Dikiranya semua sesuai dengan yang
dibayangkan dan diangankan.
2. Mahasiswa Yang Sadar Akan Ketidakmampuannya (Consciously Incompetent)
Masuk kampus, ternyata bekal kanji 1000 huruf nggak
cukup. 1000 kanji itu level anak SD atau SMP di Jepang. Saya perlu lebih
dari 30 menit untuk membaca 1 halaman buku textbook pelajaran, padahal
orang Jepang hanya perlu 2-3 menit
Kemahiran percakapan juga nggak banyak menolong karena mahasiswa
Jepang membentuk grup-grup. Saya satu-satunya mahasiswa asing di
Jurusan, nggak kebagian teman, meskipun sudah kerja keras tegur
sapa, ngajak kenalan, nanya jam, nanya mata pelajaran, dsb. Matematika,
Fisika, dan Kimia sebenarnya mudah, hanya masalahnya karena Kanji
terbatas, kadang saya nggak ngerti yang ditanyain apa. Jadi kadang saya
kerjasama dengan mahasiswa Jepang disamping saya, dia ngerti apa yang
ditanyain, tapi nggak bisa ngerjakan. Sebaliknya saya nggak ngerti yang
ditanyain, tapi sebenarnya bisa ngerjain … hehehe. Untuk praktek di lab
komputer, ternyata semua pakai terminal Unix (Sun), sama sekali nggak
ada mesin yang jalan under (Microsoft) Windows. Yang pasti, harus sering
mainin command line di shell, untuk ngedit file hanya bisa pakai emacs,
browsing hanya bisa pakai mosaic, laporan harus pakai latex, buat
program harus pakai bahasa C atau perl (CGI) untuk yang berbasis web.
Kenyataan membuat saya sadar akan ketidakmampuan saya .
3. Mahasiswa Yang Sadar Akan Kemampuannya (Consciously Competence)
Karena sadar bahwa banyak hal yang ternyata saya
belum mampu, yang saya lakukan adalah belajar keras. Saya kurangi tidur,
saya perbanyak baca, perbanyak beli buku, beli kamus elektronik, banyak
diskusi dengan teman-teman mahasiswa Jepang. Saya mulai banyak
bermain-main dengan Linux dan FreeBSD di rumah untuk kompatibilitas
dengan tugas kampus. Nyambung internet dengan dialup, mulai belajar
mengelola server, mulai membuat program kecil-kecilan dengan bahasa C
dan Perl. Banyak kerja part time, mulai dari nyuci piring, interpreter,
code tester dan programmer. Saya mulai aktif di dunia kemahasiswaan,
baik di dalam kampus maupun di luar kampus, termasuk ikut mengurusi Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang sampai
pernah terpilih jadi ketua umumnya. Knowledge dan skill di kampus
terasah, experience dan manajemen keorganisasian juga terasah.
Alhamdulillah saya mulai banyak punya teman Jepang, kadang makan bareng,
main bareng atau ngoprek komputer bareng di asrama mereka. Untuk
menambah ilmu kadigdayaan (sebenarnya sih untuk keperluan kerja part
time ), saya menambah peliharaan komputer di apartemen dengan Apple Macintosh dan beberapa Unix machine.
Tahun pertama dan kedua terlewati dengan baik, nilai
lumayan dengan nuansa penuh kegembiraan. Saya berusaha semaksimal
mungkin “menjual” kemampuan saya, baik dalam bentuk jasa alias sebagai
interpeter, lecturer, programmer, software engineer, maupun dalam
kemasan produk software yang saya buat (sistem informasi rumah sakit,
sistem informasi periklanan, web application, network management system,
dsb). Alhamdulillah saya sudah bisa mandiri dan mendapat banyak
pengalaman dan keuntungan finansial mulai tahun ketiga kehidupan saya di
Jepang, sehingga akhirnya saya putuskan menikah “dini” supaya
lebih tenang, aman dan sehat . Nah pada masa ini jenis saya adalah semakin sadar akan kemampuan saya .
4. Mahasiswa Yang Tidak Sadar Akan Kemampuannya (Unconsciously Competence)
Saya banyak ngejar kredit di tahun 1 dan 2, dengan
harapan bisa tobikyu (loncat tingkat), meskipun saya kemudian nggak
minat lagi karena ternyata di Jepang kalau kita loncat langsung ke
program Master (S2), ijazah S1 nggak diberikan oleh Universitas. Resiko
besar kalau saya balik Indonesia tanpa ijazah S1, urusan birokrasi
pemerintahan (PNS) akan merepotkan, apalagi kalau nanti nyalon
jadi walikota semarang, bisa kena pasal ijazah palsu … hehehe. Akhirnya
tingkat 3 kuliah banyak kosong (sudah terambil di tingkat sebelumnya).
Part time juga saya lebih selektif, hanya di bidang garapan saya saja,
yang bisa kerja remote dan lebih bebas waktunya. Tidak ada lagi tempat
untuk kerja kasar nyuci piring atau angkat karung. Saya terpaksa ambil
mata kuliah jurusan lain untuk menjaga ritme kampus. Meskipun kadang
ditolak professor pengajar, karena saya ambil mata kuliah semacam
combustion, teknologi pendidikan, sistem tata kota, dsb yang nggak ada
hubungan dengan computer science. Akhirnya karena keasyikan ngambil
kredit, nggak sadar kelebihan kredit. Total terambil 170 kredit, padahal
syarat lulus S1 hanya 118 kredit :D.
Sehari hampir 18 jam di depan komputer, kecuali tidur
sekitar 6 jam, tugas kampus juga saya kerjakan dengan baik. Akhirnya
masuklah saya ke masa, “nggak ngerti lagi mau ngapain di Internet”
. Saya mulai suka iseng dan banyak aktif di dunia underground dengan
berbagai nama samaran. Saya kadang membuat program looping tanpa stop
untuk mbangunin admin kampus, alias men-downkan server karena overload
CPU dan memori. Kadang nge-brute force account teman untuk ambil
passwordnya, sehingga bisa baca email-email cintanya
. Sampai akhirnya saya pernah kena skorsing 3 bulan karena ngecrack
account professor-professor di kampus. Nah di masa ini, saya berubah
jenis sebagai mahasiswa yang nggak sadar bahwa punya kemampuan untuk
berbuat negatif dan merusak kestabilan kampus .
Di sisi lain, saya banyak mendapatkan knowledge di
Universitas, formal language dan automata, software project management,
software metrics, requirement engineering, dsb yang pada saat dapat kita
mikirnya ini nanti dipakai dimana yah
. Tapi ternyata semua itu bekal yang cukup berguna ketika harus masuk
ke dunia industri dan menggarap project-project yang lebih riil. Kondisi
seperti ini juga termasuk dalam posisi yang tidak sadar akan
kemampuannya
Bagaimanapun juga mahasiswa sebaiknya di arahkan
untuk menjadi jenis ke-3, yang sadar akan kemampuannya dan menggunakan
kemampuannya untuk hal-hal positif. Kalaupun ada mahasiswa yang dengan
skillnya terjebak tindakan negatif, pembimbing ataupun dosen juga harus
bijak mensikapi. Bagaimanapun juga ini semua adalah proses belajar dan
proses pematangan diri. Sebagai tambahan, 4 hal diatas diformulasikan
orang dan terkenal dengan nama teori Experiential Learning. Lalu anda termasuk yang mana? Silakan dijawab sendiri.
Yang paling penting, apapun jenis anda, jangan pernah menyerah dan tetap dalam perdjoeangan !